Minggu, 26 Februari 2017

RUMPON ADALAH TABUNGAN BAGI NELAYAN TETAPI KINI DIHANCURKAN dan DILARANG KARENA ILEGAL



Rumpon Biasa jga disebut dengan fish agregation device (FAD) yaitu suatu alat bantu penangkapan yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul dalam suatu cathble area.
ada beberapa prediksi mengapa ikan senang di dekat rumpon
  1. Rumpon tempat berkumpulnya plankton dan ikan-ikan kecil lainnya, sehingga dapat mengundang   ikan ikan yang lebih besar untuk tujuan feeding. agar nelayan bisa tidak lagi susah susah mencari lokasi penagkapan ikan yang lebih jauh
  2. Merupakan suatu tingkah dari berbagai jenis ikan untuk berkelompok di sekitar kayu terapung (seperti jenis-jenis tuna dan cakalang)
  3. .rumpon juga bermanfaat bagi nelayan karena jika rumpon tersebut dekat artinnya solar yang dibutuh kan juga sedikit.
  4. memudahkan nelayan untuk mencari ikan  
  5. rumpon juga berfungsi agar ikan-ikan besar yang mempunyai nilai jual besar berkumpul disekitaran rumpon
  6. rumpon juga berfungsi sebagi rantai makanan bagi ikan
dengan demikian tingkah laku ikan ini di manfaatkan untuk tujuan penangkapan
kepadatan gerombolan ikan pada rumpon diketahui oleh nelayan berdasarkan buih atau gelembung udara yang timbul di permukaan air, warna air yang gelap karena pengaruyh gerombolan ikan atau banyaknya ikan-ikan kecil yang bergerak di sekitar rumpo.
  • tetapi kini ada larangan untuk peletakan rumpon diperairan dikarenakan menghalang ikan berimigrasi dan bertelur 
jika rumpon dimusnahkan dampaknya adalah sebagai berikut
  1. nelayan semakin susah untuk mencari letak lokasi penangkapan ikan
  2. ikan-ikan besar berimigrasi kenegara lain akhirnya nelayan luar negeri lah yang menangkap ikan tersebut dengan alat-alat cangih mereka.
  3. pembekalan solar semakin banyak akhirnya penghasilanpun semakin sulit 
  4. nelayan banyak yang tidak bisa melaut 

SEJARAH PERKEMBANGAN PERIKANAN DI INDONESIA

Sebelum Kemerdekaan
Kegiatan usaha perikanan sejak akhir abad 19 ditandai dengan bergesernya usaha penangkapan dari perairan laut-dalam lepas pantai ke perairan dekat pantai. Hal ini sebagai akibat semakin berkurangnya perahu berukuran besar jenis mayang dan tidak adanya pembuatan perahu baru. Kemunduran tersebut disebabkan oleh perubahan mendasar dalam system investasi, sehingga penanaman modal di sektor perikanan tidak memberikan prospek yang menguntungkan. Namun sejalan dengan adanya perubahan politik kolonial liberal ke politik ethis, mendorong adanya kebijakan pemerintah yang berupaya untuk meningkatkan kesejahterakan penduduk pribumi, termasuk di dalamnya nelayan.
            Sebagai pelaksanaan politik ethis, dibentuk komisi yang disebut Mindere Welvaarts Onderzoek (Diminished Prosperity) dengan tugas menyelidiki sebab-sebab terjadinya kemunduran kesejahteraan penduduk pribumi di Jawa dan Madura, serta mencari solusi pemecahannya. Dalam sektor usaha perikanan, hasil kerja Komisi menghasilkan laporan disertai dengan sejumlah saran untuk meningkatkan kehidupan nelayan. Terdapat 33 saran yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk upaya tersebut, termasuk 11 saran penting berkaitan dengan perbaikan dan pembangunan kehidupan ekonomi perikanan secara langsung. Adapun untuk mengadopsi teknik penangkapan, mulai tahun 1907 dilakukan penelitian dan percobaan penggunaan jaring tangkap dengan ukuran lebih besar dan modern. Percobaan dilakukan di beberapa kawasan, terutama di Laut Jawa dan Selat Madura.  Pemilihan tempat terkait dengan kegiatan penangkapan ikan di pusat kawasan yang telah berlangsung. Kegiatan percobaan memperoleh perhatian luas, namun juga menimbulkan kekhawatiran. Karena tidak efektif, pada tahun 1913 percobaan dihentikan. 
Walau demikian, terdapat pengaruh inovasi pada nelayan lokal, berupa usaha merapatkan mata jaring pada kantong, sehingga jaring dapat menangkap keseluruhan ikan, termasuk ikan kecil yang belum dewasa yang belum bernilai untuk dipasarkan. Kemudian secara kelembagaan instansi yang menangani masalah perikanan diorganisasi pada tahun 1928, dan dalam tahun 1934 dibentuk het Instituut voor Zeevischerij (Lembaga Perikanan Laut). Lembaga ini menerima anggaran keuangan, bertugas mengembangkan penangkapan perahu mayang dan peralatan pendukungnya ke dalam sistem modern.
            Penangkapan yang melebihi 3 mil lepas pantai harus dilakukan dengan ijin dari pemerintah. Berdasarkan pada perkembangan yang ada, mulai tahun 1930-an nelayan Jepang menguasai pusat-pusat perikanan di perairan Hindia Belanda, mulai dari Sabang, Padang di Sumatra, hingga Makassar, Menado dan Ternate di wilayah Timur. Makassar menjadi pelabuhan utama di wilayah perairan Timur dalam melayani ekspor hasil laut. Sampai tahun 1935 terdapat antara 2.000 sampai 3.000 nelayan Jepang beroperasi di perairan Hindia Belanda. Sementara jumlah emigran Jepang di Hindia Belanda yang bermukim di Jawa sampai tahun 1939 sebanyak 6.600 orang. Bagi nelayan pribumi, nelayan Jepang dianggap telah merampas mata pencaharian mereka, karena nelayan Jepang juga mengambil hasil laut seperti kerang lola, toka, tripang, dan telur penyu. 
Awal kemerdekaan
Urusan perikanan laut disatukan dengan perikanan darat. Namun mulai bulan Januari 1949, kedua jawatan itu dipisahkan lagi. Dengan Jawatan Perikanan Laut tersebut, mulai dipergiat lagi penelitian perikanan laut, walau belum segencar kegiatan penelitian pada waktu sebelum perang. Lembaga itu mendorong pembuatan perahu baru dengan memberikan bantuan pinjaman uang untuk pembelian kayu atau memperbaiki perahu tua. Hasilnya, penangkapan ikan di Muncar dan Tratas dapat dikatakan memuaskan, walau keadaan masih penuh kesukaran. Pembuatan perahu di Penarukan tidak begitu berarti, disebabkan kekurangan kayu yang baik. Di Bawean barang-barang yang dibutuhkan adalah garam, benang, pancing, dan layar. Untuk itu diusahakan pula bantuan pinjaman. Pada umumnya kesukaran alat pengangkutan masih menyebabkan tidak lancarnya distribusi bahan-bahan perikanan yang dipesan oleh rakyat.
  Jawatan Perikanan Laut sebagai kelanjutan dari lembaga yang sama pada masa kolonial, dimaksudkan sebagai jawatan bagi kepentingan umum untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pedagang (bakul) ikan. Hal ini berangkat dari persoalan pokok bahwa pada dasarnya antara nelayan dengan bakul ikan mempunyai perbedaan kepentingan dalam memperoleh keuntungan.  Mengenai pemasaran, pemerintah menjaga harga selaras dengan keadaan, agar perikanan rakyat tetap menjadi sumber pencaharian yang menguntungkan.
Instituut voor de Zeevisserij yang dibentuk pada tahun 1934, setelah kemerdekaan  Indonesia dirubah menjadi Yayasan Perikanan Laut (YPL) berdasarkan pada peraturan Menteri Pertanian No. 1/55, pasal 5 sub C., berada dibawah Kementerian Pertanian.  Kemudian berdasar pada keputusan Menteri Pertanian No. 5545/BK/SK/M, tertanggal 4 Juli 1959 mengubah YPL  menjadi P.T. Usaha Pembangunan Perikanan Indonesia (P.T UPPI).
Namun demikian, perubahan tersebut tidak serta merta mengubah seluruh orientasi yang selama itu telah tertanam, mengingat bahwa P.T UPPI merupakan peleburan dari Yayasan Perikanan Laut yang lapangan kerjanya terletak di bidang  penyuluhan, sehingga dasar pembangunan stasion-stasionnya terutama tidak diarahkan kebidang komersiil. P.T.  UPPI mendapat warisan dari YPL berupa station-station beserta pegawainya. Hal ini kurang menguntungkan ditinjau dari bidang perusahaan, karena station-stasion percobaan itu ditujukan kearah penyuluhan, bukan kearah perusahaan, sehingga masalah untung rugi bukanlah merupakan pertimbangan. Pertimbangannya adalah station didirikan di sekitar manyarakat nelayan. Demikian juga mengenai para pegawainya, dari jumlahnya memang banyak, akan tetapi tidak dipersiapkan di bidang usaha. Terbukti sebagian pegawai sebagian besar bekerja di bidang administrasi, bukan bekerja di bidang usaha, sehingga kapal-kapal dibagihasilkan kepada nelayan.
            Kondisi yang demikian itu menyebabkan P.N Perikani di daerah-daerah menghadapi kendala besar, sangat tergantung kepada subsidi yang diberikan oleh pusat. Oleh karena itu agar Perusahaan Negara tersebut tidak sampai gulung tikar didirikan Badan Pimpinan Umum (B.P.U) Perusahaan Umum Perikanan Negara di daerah-daerah.  Tujuannya untuk sementara sampai perusahaan-perusahaan tersebut mampu berdiri sendiri tanpa subsidi. Atas dasar alasan-alasan tersebut, Direksi B.P.U., P.N. Perikani. Dirjen Pokala mengusulkan kepada Menteri Maritim agar P.N. Perikani digolongkan dan diklasifikasikan sebagai public/State Company.
Perkembangan yang menarik lainnya adalah pada sektor kredit yang diberikan pada nelayan. Sejak tahun 1957 sampai tahun 1959 telah dikeluarkan kredit sektor perikanan sebanyak Rp 15 juta oleh PT Bank Tani Nelayan (BTN) yang kemudian menjadi Bank Kredit Tani Nelayan (BKTN). Bank ini dimaksudkan sebagai sarana pembangunan masyarakat nelayan Indonesia. Latar belakangnya adalah daerah-daerah yang belum ada koperasi, produksi pengolahan dan perdagangan hasil penangkapan ikan dikuasai sepenuhnya oleh pedagang ikan-pelapas uang yang memberikan ijon (woeker) dengan membebani bunga sampai 300% dalam satu musim. Ijon merupakan bagian dari kegiatan ekonomi yang telah berlangsung lama dalam masyarakat nelayan. Ditinjau dari beban bunga, sistim ijon dirasa sangat memberatkan. Namun keperluan nelayan terhadap uang untuk pengadaan peralatan dan biaya hidup terutama ketika nelayan tidak memperoleh penghasilan karena tidak dapat melaut, merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda, sehingga faktor bunga yang tinggi sering tidak menjadi pertimbangan. Kredit yang dikeluarkan oleh BKTN pada tahun 1960 sebanyak Rp. 436.016.500. 

Sabtu, 25 Februari 2017

Cantrang Beroperasi Penganguranpun Bisa di Atasi

Semenjak peraturan menteri kelautan dan perikanan republik indonesia nomor 2 permen-KP 5 tentang larangan penggunaan alat penangakapan ikan pukat hela diwilayah pengelolaan perikanan negara republi indonesia tidak boleh beroberasi sampai dengan 30 desember 2016, banyak sekali dampak negatif pada peraturan tersebut karena memutus rantai pengasilan para nelayan cantang, bukan hanya awak kapal cantrang yang menjadi imbasnya tetapi bakul penjual ikan dan pabrik-pabrik ikan pun gulung tikar, lebih dari 1000 orang menjadi pengangguran oleh dampak tersebut
tetapi setelah itu peraturan menteri kelautan dan perikanan diperpanjang sampai dengan  30 juni - 2017, akhirnya para nelayan cantrang mulai beroperasi dan bakul ikan pun mulai beroperasi dan para pabrik ikan pun mulai membuka kembali pabriknya dan mulai membuka banyak lowongan pekerjaan disektor perikanan agar indonesia sebagai poros dunia perikana  yang bertarap internasional