Sebelum Kemerdekaan
Kegiatan
usaha perikanan sejak akhir abad 19 ditandai dengan bergesernya usaha
penangkapan dari perairan laut-dalam lepas pantai ke perairan dekat pantai. Hal
ini sebagai akibat semakin berkurangnya perahu berukuran besar jenis mayang dan
tidak adanya pembuatan perahu baru. Kemunduran tersebut disebabkan oleh
perubahan mendasar dalam system investasi, sehingga penanaman modal di sektor
perikanan tidak memberikan prospek yang menguntungkan. Namun sejalan dengan
adanya perubahan politik kolonial liberal ke politik ethis, mendorong adanya
kebijakan pemerintah yang berupaya untuk meningkatkan kesejahterakan penduduk
pribumi, termasuk di dalamnya nelayan.
Sebagai pelaksanaan politik ethis, dibentuk komisi yang disebut Mindere
Welvaarts Onderzoek (Diminished Prosperity) dengan tugas menyelidiki
sebab-sebab terjadinya kemunduran kesejahteraan penduduk pribumi di Jawa dan
Madura, serta mencari solusi pemecahannya. Dalam sektor usaha perikanan, hasil
kerja Komisi menghasilkan laporan disertai dengan sejumlah saran untuk
meningkatkan kehidupan nelayan. Terdapat 33 saran yang perlu dilakukan oleh
pemerintah untuk upaya tersebut, termasuk 11 saran penting berkaitan dengan
perbaikan dan pembangunan kehidupan ekonomi perikanan secara langsung. Adapun
untuk mengadopsi teknik penangkapan, mulai tahun 1907 dilakukan penelitian dan
percobaan penggunaan jaring tangkap dengan ukuran lebih besar dan modern.
Percobaan dilakukan di beberapa kawasan, terutama di Laut Jawa dan Selat
Madura. Pemilihan tempat terkait dengan kegiatan penangkapan ikan di
pusat kawasan yang telah berlangsung. Kegiatan percobaan memperoleh perhatian
luas, namun juga menimbulkan kekhawatiran. Karena tidak efektif, pada tahun 1913
percobaan dihentikan.
Walau demikian, terdapat
pengaruh inovasi pada nelayan lokal, berupa usaha merapatkan mata jaring pada
kantong, sehingga jaring dapat menangkap keseluruhan ikan, termasuk ikan kecil
yang belum dewasa yang belum bernilai untuk dipasarkan. Kemudian secara
kelembagaan instansi yang menangani masalah perikanan diorganisasi pada tahun
1928, dan dalam tahun 1934 dibentuk het Instituut voor Zeevischerij
(Lembaga Perikanan Laut). Lembaga ini menerima anggaran keuangan, bertugas
mengembangkan penangkapan perahu mayang dan peralatan pendukungnya ke dalam
sistem modern.
Penangkapan yang melebihi 3 mil lepas pantai harus dilakukan dengan ijin dari
pemerintah. Berdasarkan pada perkembangan yang ada, mulai tahun 1930-an nelayan
Jepang menguasai pusat-pusat perikanan di perairan Hindia Belanda, mulai dari
Sabang, Padang di Sumatra, hingga Makassar, Menado dan Ternate di wilayah
Timur. Makassar menjadi pelabuhan utama di wilayah perairan Timur dalam
melayani ekspor hasil laut. Sampai tahun 1935 terdapat antara 2.000 sampai
3.000 nelayan Jepang beroperasi di perairan Hindia Belanda. Sementara jumlah
emigran Jepang di Hindia Belanda yang bermukim di Jawa sampai tahun 1939
sebanyak 6.600 orang. Bagi nelayan pribumi, nelayan Jepang dianggap telah
merampas mata pencaharian mereka, karena nelayan Jepang juga mengambil hasil
laut seperti kerang lola, toka, tripang, dan telur penyu.
Awal kemerdekaan
Urusan perikanan laut disatukan dengan perikanan darat. Namun mulai bulan
Januari 1949, kedua jawatan itu dipisahkan lagi. Dengan Jawatan Perikanan Laut
tersebut, mulai dipergiat lagi penelitian perikanan laut, walau belum segencar
kegiatan penelitian pada waktu sebelum perang. Lembaga itu mendorong pembuatan
perahu baru dengan memberikan bantuan pinjaman uang untuk pembelian kayu atau
memperbaiki perahu tua. Hasilnya, penangkapan ikan di Muncar dan Tratas dapat
dikatakan memuaskan, walau keadaan masih penuh kesukaran. Pembuatan perahu di
Penarukan tidak begitu berarti, disebabkan kekurangan kayu yang baik. Di Bawean
barang-barang yang dibutuhkan adalah garam, benang, pancing, dan layar. Untuk
itu diusahakan pula bantuan pinjaman. Pada umumnya kesukaran alat pengangkutan
masih menyebabkan tidak lancarnya distribusi bahan-bahan perikanan yang dipesan
oleh rakyat.
Jawatan Perikanan Laut sebagai kelanjutan dari lembaga yang sama
pada masa kolonial, dimaksudkan sebagai jawatan bagi kepentingan umum untuk
meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pedagang (bakul) ikan. Hal ini berangkat
dari persoalan pokok bahwa pada dasarnya antara nelayan dengan bakul ikan
mempunyai perbedaan kepentingan dalam memperoleh keuntungan. Mengenai
pemasaran, pemerintah menjaga harga selaras dengan keadaan, agar perikanan
rakyat tetap menjadi sumber pencaharian yang menguntungkan.
Instituut
voor de Zeevisserij yang
dibentuk pada tahun 1934, setelah kemerdekaan Indonesia dirubah menjadi
Yayasan Perikanan Laut (YPL) berdasarkan pada peraturan Menteri Pertanian No.
1/55, pasal 5 sub C., berada dibawah Kementerian Pertanian. Kemudian
berdasar pada keputusan Menteri Pertanian No. 5545/BK/SK/M, tertanggal 4 Juli
1959 mengubah YPL menjadi P.T. Usaha Pembangunan Perikanan Indonesia (P.T
UPPI).
Namun demikian, perubahan
tersebut tidak serta merta mengubah seluruh orientasi yang selama itu telah
tertanam, mengingat bahwa P.T UPPI merupakan peleburan dari Yayasan Perikanan
Laut yang lapangan kerjanya terletak di bidang penyuluhan, sehingga dasar
pembangunan stasion-stasionnya terutama tidak diarahkan kebidang komersiil.
P.T. UPPI mendapat warisan dari YPL berupa station-station beserta
pegawainya. Hal ini kurang menguntungkan ditinjau dari bidang perusahaan, karena station-stasion percobaan itu ditujukan kearah penyuluhan, bukan
kearah perusahaan, sehingga masalah untung rugi bukanlah merupakan
pertimbangan. Pertimbangannya adalah station didirikan di sekitar manyarakat
nelayan. Demikian juga mengenai para pegawainya, dari jumlahnya memang banyak,
akan tetapi tidak dipersiapkan di bidang usaha. Terbukti sebagian pegawai
sebagian besar bekerja di bidang administrasi, bukan bekerja di bidang usaha,
sehingga kapal-kapal dibagihasilkan kepada nelayan.
Kondisi yang demikian itu menyebabkan P.N Perikani di daerah-daerah menghadapi kendala besar, sangat tergantung kepada subsidi yang
diberikan oleh pusat. Oleh karena itu agar Perusahaan Negara tersebut tidak
sampai gulung tikar didirikan Badan Pimpinan Umum (B.P.U) Perusahaan Umum
Perikanan Negara di daerah-daerah. Tujuannya untuk sementara sampai
perusahaan-perusahaan tersebut mampu berdiri sendiri tanpa subsidi. Atas dasar
alasan-alasan tersebut, Direksi B.P.U., P.N. Perikani. Dirjen Pokala
mengusulkan kepada Menteri Maritim agar P.N. Perikani digolongkan dan
diklasifikasikan sebagai public/State Company.
Perkembangan yang menarik lainnya
adalah pada sektor kredit yang diberikan pada nelayan. Sejak tahun 1957 sampai
tahun 1959 telah dikeluarkan kredit sektor perikanan sebanyak Rp 15 juta oleh
PT Bank Tani Nelayan (BTN) yang kemudian menjadi Bank Kredit Tani Nelayan
(BKTN). Bank ini dimaksudkan sebagai sarana pembangunan masyarakat nelayan
Indonesia. Latar belakangnya adalah daerah-daerah yang belum ada koperasi,
produksi pengolahan dan perdagangan hasil penangkapan ikan dikuasai sepenuhnya
oleh pedagang ikan-pelapas uang yang memberikan ijon (woeker) dengan membebani
bunga sampai 300% dalam satu musim. Ijon merupakan bagian dari kegiatan ekonomi
yang telah berlangsung lama dalam masyarakat nelayan. Ditinjau dari beban
bunga, sistim ijon dirasa sangat memberatkan. Namun keperluan nelayan terhadap
uang untuk pengadaan peralatan dan biaya hidup terutama ketika nelayan tidak
memperoleh penghasilan karena tidak dapat melaut, merupakan kebutuhan yang
tidak dapat ditunda-tunda, sehingga faktor bunga yang tinggi sering tidak
menjadi pertimbangan. Kredit yang dikeluarkan oleh BKTN pada tahun 1960
sebanyak Rp. 436.016.500.